Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggulirkan rencana untuk
menghapus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur ujian
tertulis.
Ke depan, hanya ada dua sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan
tinggi negeri (PTN). Pertama, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) jalur undangan yang didasarkan pada nilai rapor, ranking
siswa, dan nilai UN. Kedua, seleksi mandiri yang dilaksanakan oleh
masing-masing PTN.
Sebelum Kemdikbud dan PTN menetapkan sistem seleksi baru ini, perlu
kajian terhadap sistem seleksi yang ada dan diinformasikan kepada
masyarakat. Dengan demikian, kebijakan baru akan ditopang oleh
bukti-bukti kuat guna menumbuhkan tradisi ”evidence-based policy” dalam
pengambilan kebijakan.
Ada tiga hal penting yang perlu dikaji sebelum mengubah sistem
penerimaan. Pertama, perbedaan fungsi UN dan SNMPTN jalur ujian
tertulis. Kedua, validitas prediktif. Ketiga, dampak perubahan sistem
terhadap komposisi mahasiswa di PTN.
Fungsi
Ujian nasional (UN) dan SNMPTN jalur ujian tertulis memiliki fungsi berbeda. UN didesain untuk menguji kemampuan siswa mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan sehingga lebih bersifat criterion-referenced test. Hasil tes siswa tidak dibandingkan dengan siswa lain, tetapi lebih untuk melihat kemampuan setiap siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Dengan demikian, siswa bisa lulus atau tidak lulus 100 persen.
Ujian nasional (UN) dan SNMPTN jalur ujian tertulis memiliki fungsi berbeda. UN didesain untuk menguji kemampuan siswa mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan sehingga lebih bersifat criterion-referenced test. Hasil tes siswa tidak dibandingkan dengan siswa lain, tetapi lebih untuk melihat kemampuan setiap siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Dengan demikian, siswa bisa lulus atau tidak lulus 100 persen.
Sementara SNMPTN maupun tes seleksi perguruan tinggi lainnya didesain
untuk menyeleksi siswa yang dianggap mampu mengikuti perkuliahan di
perguruan tinggi sehingga lebih bersifat norm-referenced test. Hasil tes
siswa dibandingkan satu sama lain untuk menentukan siswa yang layak
diterima sesuai kapasitas yang dimiliki PT.
Apakah UN dapat menjalankan fungsi sebagai salah satu penentu
kelulusan dari SMA/SMK dan sekaligus salah satu kriteria penerimaan
mahasiswa baru di PTN? Secara teoretis, hasil tes yang valid untuk
menjalankan fungsi tertentu belum tentu valid untuk fungsi lainnya.
Fungsi yang berbeda membuat desain soal menjadi berbeda pula.
Kesimpulannya, hasil UN belum tentu dapat digunakan untuk kedua fungsi
di atas secara bersamaan.
Validitas prediktif
Salah satu aspek validitas yang dikaji dalam penggunaan indikator kuantitatif untuk seleksi mahasiswa ke perguruan tinggi adalah validitas prediktif (predictive validity), yaitu kemampuan indikator tersebut dalam memprediksi keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi. Apakah UN maupun seleksi mandiri oleh masing-masing PTN memiliki validitas prediktif minimal setara SNMPTN tulis? Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi (dalam rentang 0-1) antara UN dan SNMTPN tulis sangat rendah, hanya 0,2 untuk IPA dan 0,18 untuk IPS.
Salah satu aspek validitas yang dikaji dalam penggunaan indikator kuantitatif untuk seleksi mahasiswa ke perguruan tinggi adalah validitas prediktif (predictive validity), yaitu kemampuan indikator tersebut dalam memprediksi keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi. Apakah UN maupun seleksi mandiri oleh masing-masing PTN memiliki validitas prediktif minimal setara SNMPTN tulis? Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi (dalam rentang 0-1) antara UN dan SNMTPN tulis sangat rendah, hanya 0,2 untuk IPA dan 0,18 untuk IPS.
Sebagai perbandingan, sebagian besar penelitian tentang seleksi masuk
perguruan tinggi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa nilai siswa dan
ranking di sekolah memiliki validitas prediktif paling tinggi
dibandingkan dengan SAT I ataupun SAT II (Linn, 2005; Perry, Brown &
Sawrey; 2005). SAT I adalah aptitude test, yang digunakan untuk menguji
kemampuan penalaran matematika dan verbal secara umum. SNMPTN tulis
juga menggunakan tes semacam ini yang dikenal dengan tes potensi
akademik (TPA). Sementara SAT II merupakan achievement test yang terkait
kurikulum sekolah.
Meskipun demikian, kemampuan berbagai ukuran kuantitatif di atas
masih belum memadai dalam menjelaskan keberhasilan mahasiswa di
perguruan tinggi. Robert Jeffrey Sternberg (2008) menggagas indikator
yang lebih komprehensif dalam seleksi calon mahasiswa melalui The
Rainbow Project yang diuji coba di Tufts University.
Indikator tersebut adalah kemampuan analitis, kemampuan kreatif, dan
kemampuan praktis. Hal ini sejalan dengan kecenderungan perguruan tinggi
di Amerika dan Eropa saat ini untuk tidak semata-mata bertumpu pada
ukuran kuantitatif, tetapi menilai calon mahasiswa secara lebih utuh.
SNMPTN jalur undangan yang digunakan sejak tahun lalu tampaknya cukup
memberi harapan meskipun terdapat variasi nilai rapor antarsekolah dan
kemungkinan manipulasi nilai rapor. Ranking siswa dan konsistensi
ranking yang tinggi membantu mengeliminasi dampak variasi tersebut.
Selain itu, panitia SNMPTN jalur undangan juga telah menentukan
persentase siswa yang dapat mengikuti jalur undangan berdasarkan
akreditasi sekolah. PTN pun dapat menilai kredibilitas tiap sekolah
berdasarkan berbagai indikator. Prestasi akademik dan non-akademik siswa
juga dapat membantu untuk menilai calon mahasiswa.
Pertanyaannya, apakah menambahkan nilai UN sebagai kriteria seleksi
ke PTN dapat meningkatkan validitas prediktif oleh nilai rapor dan
ranking siswa mengingat rendahnya korelasi antara nilai UN dan nilai
SNMPTN jalur tertulis?
Komposisi mahasiswa
Aspek lain yang dalam menentukan sistem seleksi mahasiswa ke PTN
adalah kaitannya dengan komposisi mahasiswa. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa hasil tes, seperti SAT I, SAT II dan ACT, ujian
kelulusan, dan nilai rapor siswa, berkaitan dengan status sosial ekonomi
siswa (Kobrin, Camara, & Milewski, 2002; Zwick, 2005).
Dengan demikian, peluang lebih besar ada pada calon mahasiswa yang
berasal dari kalangan lebih mampu secara ekonomi. Hal ini dapat
dijelaskan oleh adanya multiple advantageous yang dimiliki siswa
berkondisi sosial ekonomi lebih baik dan multiple disadvantegous yang
dimiliki siswa dengan kondisi sosial ekonomi kurang baik.
Kajian serupa perlu dilakukan oleh PTN di Tanah Air untuk memastikan
bahwa sistem seleksi mahasiswa baru tidak lebih menguntungkan calon
mahasiswa dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Sistem tersebut
harus mampu memberikan peluang yang setara bagi calon mahasiswa dari
berbagai lapisan masyarakat. Ini karena keragaman komposisi mahasiswa di
perguruan tinggi akan memberikan pengalaman yang lebih kaya dan
berharga bagi para mahasiswa.
Harapan untuk menjaring calon mahasiswa yang unggul selayaknya
diparalelkan dengan upaya untuk menjamin akses yang setara bagi calon
mahasiswa dari berbagai lapisan masyarakat. Upaya ini tampaknya tidak
dapat disandarkan semata-mata pada sistem seleksi yang digunakan, tetapi
juga pada upaya untuk mengurangi dampak sosial ekonomi terhadap
pencapaian siswa sejak dini.
Sumber : Kompas.com
No comments:
Post a Comment